Jumat, 28 Oktober 2011

Isra’ Mi’raj

DENGAN ISRA' MI'RAJ NABI MUHAMMAD SAW

KITA TINGKATKAN PERSATUAN DAN KESATUAN BANGSA

UNTUK MENSUKSESKAN SIDANG UMUM MPR 1993

DAN PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG TAHAP II


 

OLEH : DR. H. BISRI AFFANDI,M.A.

(REKTOR IAIN SUNAN AMPEL SURABAYA)


 


 

Assalamu'alaikum Wr.Wb


 

الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين و على آ له وأصحابه أجمعين

Pertama-tama, mari kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT sehubungan limpahan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua yang sedang memperingati peristiwa Isra' dan Mi'raj Nabi Muhammad SAW.


 

Hadirin dan hadirat yang saya muliakan


 

Ada dua macam alam yang dipersiapkan bagi manusia, sebagai makhluk termulia dibanding makhluk-makhluk hidup lainnya. Ialah alam syahadah (indrawi) dan alam ghaib (non-indrawi). Untuk kepentingan hidup di alam syahadah manusia dilengkapi dengan otak dan panca indera, yang timbul dan berkembang sesuai dengan sunnatullah fil khalqi (hukum Allah tentang penciptaan). Manakala pertumbuhan dan perkembangan tersebut telah sampai pada tingkat kesempurnaan bentuk, maka secara khas Allah telah meniupkan ruh-nya, sebagaimana firman-Nya :


 



 


 


 


 


 

"Kemudian Dia (Allah) menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh-Nya, dan Dia menjadikan kamu pendengaran, penggglihatan dan hati…"

(S. 32 – al- Sajdah: 9-10)


 

inilah salah satu keistimewaan manusia. Roh tersebut bersifat ghaib, dan pengetahuan manusia tentang roh sangat terbatas (cf. S. 17 – al-Isra : 85).


 

Dalam hal kehidupan jasmaniah di alam syahadah, roh manusia berfungsi seperti mesin kehidupan, getaran mesin tersebut ada yang bersifat af'aliah (perbuatan) seperti gerak anggota badan, gerak mata, lidah, dan sebagainya. Ada kekuatan roh yang bersifat pemahaman (al-mudrikah) yang menumbuh kembangkan kecakapan dan pemikiran rasional. Kekuatan roh lainnya bersifat perasaan yang menyelinap ke dalam seluruh tubuh jasmani manusia, sehingga manusia bisa merasakan sakit, nikmat senang, duka, pedas, asin, dan sebagainya.

Dalam kehidupan bathiniyah roh manusia tumbuh menjadi jiwa, yang apabila dalam keadaan suci bersih, oleh Ibnu Khaldun disebut ego rohaniah atau hakekat manusia dalam bentuk batiniah. Nampaknya karakter ego rohaniah itu bermacam-macam, diantaranya apabila teerbimbing dapat bergerak di alam ghaib untuk memperoleh pemahaman dan pengertian sifatnya rohani. Selanjutnya Ibnu Khaldun memperkenalkan tiga golongan manusia :


 

  1. Golongan manusia yang jiwanya tidak sanggup untuk mencapai kepahaman kerohanian disebabkan mereka terlalu puas dengan bergerak di alam syahadah (alam inderawi). Mereka telah menemukan kepahaman- kepahaman yang dicapai oleh otak dan panca indera dengan melatih kekuatan berkhayal, kekuatan perhitungan, kekuatan mengingat, sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku. Mereka mencapai ilmu yang sifatnya induktif dan deduktif. Ilmu-ilmu ini bersifat mental, namun tetap dalam lingkup alam syahadah. Dan seluruh mata rantai pemikirannya tergantung pada berlakunya kebenaran-kebenaran ini. Tidak mustahil apabila para ahli ilmu pengetahuan, karena tidak disertai keimanan, terbenam, menjadi golongan pertama ini.


 

  1. Golongan manusia yang jiwanya mampu bergerak ke atas untuk memperoleh kepahaman-kepahaman terhadap pengetahuan kerohanian. Jiwanya mampu membersihkan diri dari kotoran-kotoran yang timbul sebagai refleksi dari perbuatan dosa yang terjadi dalam alam syahadah. Dengan demikian ego rohaniahnya naik untuk melampaui prisip-prinsip yang membentuk kepuasan manusia golongan pertama, demi memperoleh kedekatan dengan Allah SWT. Di dalam Alqur'an golongan ini disebut dengan ulul alabab, yaitu merka yang melaksanakan kehidupannya dengan pendekatan dzikir dan pikir, sebagaimana tercantuk di dalam Alqur'an :


 

الذين يذكرون الله قيا ما وقعودا وعلى جنوبهم ويتفكرون في خلق السموات والأرض ربّنا ما خلقت هذا با طلا سبحانك فقنا عذا ب النار

Ulul albab yaitu mereka yang berdzikir kepda Allah dalam keadaan berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan buki (sambil berkata) : "Ya Allah tuhan kami, engkau tidak menciptakan ini tanpa faedah, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka"


 

  1. Golongan sejumlah kecil manusia yang terpilih oleh Allah. Sifat-sifat mereka sedemikian rupa, tidak seperti manusia biasa baik sifat-sifat badaniyah maupun rohaniah. Bahkan kualitas ego rohaniahnya melampaui derajat para malaikat. Mereka dikarunia kemampuan untuk menembus alam ghaib, berbicara dengan malaikat serta berdialog dengan makhluk-makhluk yang ada di langit, mendengarkan bicaranya roh dan kalimat suci. Mereka itulah Nabi dan rasul. Mereka lepas dari ikatan-ikatan alam inderawi pada saat-saat mereka menerima wahyu. Sifat-sifat kemanusiaannya penuh dengan rasa ikhlas yang memungkinkan mereka selalu dapat mengikuti jurusan yang lurus (al-Shirat al-Mustaqim). Pusat konsentrasi batinnya terletak di dalam hati (ghaib). Yang demikian bersih dan luas terbuka untuk menerima wahyu yang diletakkan oleh al-Ruh al-Amin (malaikat Jibril) dari Allah SWT (S.26 al-Syu'ara': 193-194).


     

    Hadirin dan hadirat yang saya muliakan


     

Kiranya uraian di atas dapat dijadikan salah satu pendekatan untuk memahami peristiwa Isra dan Mi'raj nabi Muhammad SAW.


 

Perlu dicatat bahwa perjalanan Isra Mi'raj Nabi pada tahun 621 Masehi, terjadi dalam suasana duka nestapa. Pada sekitar tahun-tahun itu suku Quraisy non-Muslim mengadakan sanksi boikot ekonomi, yang menyebabkan timbulnya penderitaan dan kelaparan. Disamping itu terjadi berbagai bentuk perlakuan kekerasan atas pengikut-pengikut Nabi, terutama terhadap mereka yang berasal daari budak belian. Sungguh ini merupakan era kebodohan (jahiliyah) dan kepicikan, dimana perbedaan agama atau keyakinan harus disertai retaknya ikatan sosial. Bahkan ikatan kekeluargaan. Gambarannya seperti diktator mayoritas terhadap umat Islam yang minoritas. Dalam suasana demikian Abu Thalib, pamannya yang berpikiran maju yang walaupun berbeda agama namun tetap selalu memberikan perlindungan dan pertolongan, meninggal dunia. Kematiannya disusul kematian istri tercinta Khadijah, yang selama ini mendukung risalah Nabi dengan segala macam bentuk pengorbanan. Bahkan dia sebagai pendorong Nabi untuk tabah dan teguh dalam menghadapi berbagai ancaman dan tantangan. Keadaannya setelah itu makin buruk karena mereka yang non-Muslim makin keras dan kasar. Usaha Nabi untuk berdakwah dan hijrah ke negeri Thaif tidak mengatasi masalah, karena Nabi disambut dengan penghinaan dan pelemparan batu. Suasana duka nestapa ternyata berdampak pada pendakian spiritual dengan derajat tertinggi. Pada saat demikianlah terjadi peristiwa Isra' Mi'raj untuk menerima wahyu berupa perintah shalat wajib lima waktu dengan cara haqqul yaqin dalam berhadapan dengan Allah semata. Mengenai peristiwa Isra', Allah berfirman :


 



 


 


 


 


 

Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari masjidil Haram ke masjidil Aqsa yang telah kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran kami). Sesungguhnya Dia adalah Maha Pendengar dan Maha Melihat.


 

Mengenai Mi'raj. Firman Allah tercantum dalam surat Najm ayat I-18. Mi'raj digambarkan dalam satu rangkaian dengen visi Nabi pada saat-saat menerima wahyu. Maka dapat dikatakan bahwa peristiwa Mi'raj Nabi dalam rangka menerima wahyu secara langsung (cf. S. 42- al-Syura : 51).


 

Hadirin dan hadirat yang saya muliakan


 

Perkenankanlah saya menyatakan, bahwa Isra' itu ibarat suatu perjalanan hidup di alam syahadah. Dan Nabi telah sukses dengan disertai penuh kesucian dan keikhlasan. Kita dapat mengambil pelajaran tentang kunci utama sebuah sukses kehidupan di alam syahadah yang terjadi atas Nabi, yang tahapan-tahapannya sebagai berikut :


 

  1. Pensucian hati (tashfiyatul ghaib), yang dilambangkan oleh perbuatan jibril menyucikan hati Nabi dengan air zam-zam. Bagi umat Muhammad bentuk pensuciannya bisa berupa kesadaran introspeksi atas kelemahan, kealpaan, keterlanjuran, dan kesalahan, kemudian memohon ampun dan bertaubat atau bertekad untuk kembali melakukan kebenaran dan keadilan disertai etik dan moral di jalan Allah.


 

  1. Pengisian iman dan hikmah, yang dilambangkan oleh perbuatan Jibril mengisi hati Nabi dengan iman dan hikmah. Iman ialah keyakinan terhadap kebenaran keberadaan Allah dan terhadap kebenaran tentang jalan lurus yang ditunjukkan Allah untuk kembali kepada Nya, disertai sikap responsive terhadap keyakinan atas kebenaran-kebenaran tersebut. Sikap ini demikian kuat dan demikian dalam masuk kedalam lubuk hati sehingga menyatu dengan jiwa dan tercermin dalam watak pribadi. Adapun hikmah, ialah kebenaran yang dicapai melalui pemahaman-pemahaman yang mendalam secara rasional dan ilmiah terhadap suatu pemecahan masalah. Sesuatu yang hikmah ialah sesuatu yang jelas kebaikan dan manfaatnya, yang apabila dilaksanakan akan dikaruniai oleh Allah SWT. Disebutkan bahwa jenis orang yang diilhami hikmah oleh Allah ialah mereka yang ulul albab, yaitu mereka yang melaksanakan kehidupan duniawi dalam berbagai aspeknya dengan menggunakan pendekatan dzikir dan pikir (cf. S.2 al-Baqarah : 269). Pengandalan terhadap pikir yang ditandai pengasaan ilmu dan teknologi tanpa didasari iman akan berujung pada kehancuran. Sebaliknya, hanya berdzikir adalah fatalisme menelorkan kemunduran-kemunduran. Munculnya ilmuwan hukama' (yang arif) yang tidak cukup hanya mencari kebenaran, tetapi harus pula menetapkan bagaimana hasil nalar itu bisa dilaksanakan secara efektif, sangat didambakan. Mereka harus menjembatani antara yang terdidik dan yang kurang terdidik, demi meningkatkan harkat dan martabat manusia.


 

  1. Pengendalian nafsu, yang dilambangkan dengan burag, titihan hidup yang stabil dan melangkah secepat kilat diatas jalan yang benar. Burag tersebut ibarat nafsu yang terkendalikan secara total, nafsu demikian disebut al-nafs al-muthmainnah. Dengan nafsu orang didorong untuk menggali kekayaan, mencari kebanggaan dengan penguasaan terhadap ilmu atau memperoleh jabatan, serta dengan nafsu manusia didorong untuk memperoleh kenikmatan, keindahan, dan kebahagiaan. Hasil-hasil yang dicapai oleh nafsu akan mempercepat pendekatan terhadap Allah apabila cara perolehan dan pemanfaatannya sesuai dengan jalan yang ditunjukkan oleh Allah SWT.


 

  1. Muragabah dan musyahadah, yang ditandai dengan shalat di al Masjidil Awsa. Muragabah ialah upaya konsentrasi jiwa agar jiwa lepas dari pengaruh-pengaruh alam syahadah (inderawi), untuk kemudian hanya merasa terhadap (musyahadah) dengan Allah semata.


 

Perlu dicatat bahwa keseluruhan yang terjadi atas Nabi, ia selalu didampingi oleh Malaikat Jibril. Ini mengandung arti bahwa umat Islam harus selalu konsultasi dengan wahyu (al-Qur'an).


 

Demikian 4 kunci pokok sebuah keberhasilan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Alangkah baiknya wahai bangsa Indonesia yang beragama Islam, andai kita berpegang pada 4 kunci pokok tersebut sebagai sikap mental dalam mensukseskan sidang umum MPR 1993, khususnya ini harus dimiliki oleh para khalifah Allah yang anggota MPR.


 

Adapun mengenai Mi'raj, ini merupakan pendakian spiritual yang terjadi atas Nabi Muhammad SAW, untuk menembus alam ghaib dalam rangka bertemu dengan Allah SWT. Tujuh pelapisan langit dapat dikatakan sebagai alam arwah, yang pada saat Nabi masuk kedalam masing-masing langit tersebut bertemu dan berdialog dengan para Rasul pendahulunya, diatas langit ketujuh berliau menyaksikan al-Bait al-Ma'mun, tepat konsentrasi para malaikat. Dari sana beliau naik ke Sidrat al-Muntaha, yang berdinding tertutup; Nabi masuk ke dalamnya untuk menghadap Allah SWT, dan untuk menerima wahyu perintah mengerjakan shalat, sementara Jibril menunggu dan menyimak dari balik dinding tersebut. Ini merupakan penjelajahan di alam ghaib. Orang Islam terhadap yang ghaib ini dituntut untuk mengimaninya, (S.2 al-Baqarah : 3). Sedangkan terhadap Nabi, Allah menunjukkan secara haqqul yaqin.


 

Pelajaran yang dapat diambil ialah bahwa umat Islam bisa melakukan hubungan dialogis dengan Allah SWT. Dan media yang tepat sudah ada yaitu shalat. Maka pada waktu shalat, jiwa kita seperti Mi'raj, hanya berhadapan dengan semata-semata, seakan-akan kita melihat Nya (cf. Hadits Jibril: "Engkau beribadat kepada Allah SWT seakan-akan melihat Nya"). Salat demikian pasti dilakukan dengan sepenuh hati 'secara khusus', sehingga hati hamba memperoleh spiritual illumeniation (pencahayaan spiritual) yang akan melekat di dalam jiwa dan akan membentuk karakteristik tersendiri sebagai insan yang lebih taqwa daripada sebelum melakukan shalat. (cf. S 23 al- Nur; 35). Shalat yang demikianlah yang berpengaruh secarar moral terhadap pelakunya: "Sesungguhnya shalat itu mencegah (manusia) dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar." (S.29 al- Ankabut: 45). MAka bershalat bukan sekedar memenuhi kewajiban, namun didalamnya ada proses rohaniah yang terjadi karena pencahayaan oleh Allah SWT untuk memperoleh kwalitas batin yang selalu bersentuhan dengan alam gaib. Alangkah indahnya shalat ini yang menghasilkan transformasi jiwa manusia menuju insan kamil. Kwalitas batin yang demikian akan menjadi landasan spiritual secara subjektif bagi pelaksanaan pembangunan dalam berbagai bidang.


 

Hadirin dan hadirat yang saya mulyakan.


 

Yang kemudian perlu mendapat perenungan ialah implikasi peristiwa Isra' dan Mi'raj terhadap peran Nabi Muhammad SAW pada periode berikutnya. Sebagaimana dicatat oleh sejarah, bahwa Nabi Muhammad hanya mempunyai waktu satu tahun lagi di Makkah untuk kemudian Hijrah ke Madinah pada tahun 622 Masehi. Peristiwa hijrah ialah peristiwa pengorbanan yang tertinggi dalam sejarah perjuangan Nabi Muhammad SAW. Secara nyata beliau melakukan konsolidasi identitas dan integritas demi mengantisipasi kontinuitas risalahnya. Ini berarti Nabi melakukan upaya pembinaan keuntungan umat. Mereka yang melecehkan peristiwa Isra' dan Mi'raj karena memandangnya sebagai sesuatu yang tidak mungkin, memilih keluar, sehingga walaupun secara kuantitatif pengikut Nabi berkurang. Mereka, dengan berintikan Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, membentuk kohesi umat yang kuat. Dan ternyata kohesi demikian merupakan prasarat bagi keberhasilan persiapan dan pelaksanaan hijrah itu sendiri.


 

Segera setelah itu sukses dilaksanakan, Nabi Muhammad sadar sepenuhnya bahwa keutuhan umat terbiasa di Makkah memerlukan penjabaran lebih lanjut karena masyarakat Madinah lebih bersifat majemuk. Beliau memilih dua bentuk pembinaan yang dipandang strategis, ialah ukhuwah Islamiyah dan toleransi. Beliau melihat bahwa toleransi bersifat terbuka dan manusiawi, yakni saling mengerti, saling mendengar dan memperhatikan satu dengan lainnya demi untuk keseimbangan dan keselarasan hubungan antar warga masyarakat Madinah. Adapun ukhuwah Islamiyah yang sifatnya intern umat Islam diupayakan dengan cara membentuk persaudaraan, seperti bersaudara kandung, antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin. Masing-masing orang dari kaum Muhajirin, sehingga tidak ada kaum Muhajirin yang terlantar, karena terjadi saling tolong menolong dalam berbagai hal yang berkenaan dengan kepentingan sehari-hari. Toleransi dilaksanakan dalam bentuk perjanjian perdamaian dengan kaum Yahudi, disamping berisi kebebasan beragama, juga mengenai hak-hak kehormatan jiwa dan harta serta saling tolong menolong dan kerjasama dalam menanggulangi masalah-masalah bersama dalam hal pertahanan dan keamanan, ketentraman dan kesejahteraan masyarakat Madinah, nabi Muhammad, dalam kapasitasnya sebagai kepala masyarakat Madinah, nampak mempunyai kelapangan dada cukup besar, yaitu memandang kaum minoritas sebagai setingkat dan sejajar dalam kehidupan bermasyarakat. Keadaannya tidak seperti minoritas muslim ketika berada di Makkah, yang diperlakukan tidak manusiawi, bahkan dipandang sebagai musuh yang harus dimusnahkan. Dan sebaliknya kaum Yahudi yang minoritas dituntut untuk mengerti dan mematuhi segala ketentuan yang telah disepakati bersama yang tertuang dalam perjanjian itu.


 

Sebagai umat Islam yang selalu meningkatkan kualitasnya, baik kualitas kepribadian ataupun pengabdian untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang maju, kita bertekad untuk itba' atau mengikuti keteladanan nabi Muhammad SAW, baik dengan mengambil pelajaran dari Isra' Mi'raj yang sangat bersifat mental persatuan dan kesatuan. Kiranya kita semua sadar bahwa keutuhan nasional tidak datang dengan sendirinya (taken for granted), dan ternyata betul, sebagaimana yang kita rasakan bersama selama kita bangsa Indonesia melaksanakan Pembangunan jangka panjang Tahap I, bahwa keutuhan nasional merupakan prasyarat bagi keberhasilan berbagai langkah-langkah strategis. Dan dalam rangka mensukseskan Sidang Umum MPR 1993 serta kebangkitan nasional ke 2 kita semua berkepentingan untuk mempertahankan dan membina diri demi terwujudnya kohesi nasional yang tidak tergoyahkan.


 

Ahkirul kalam, terimakasih atas perhatian Bapak-bapak dan Ibu-ibu. Saya mohon maaf apabila ada hal-hal yang kurang berkenan.


 

Wa billahi al-Taufiq wa al-Hidayah


 

Wassalamu'alaikum Wr. Wb

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright Artikel, Skripsi 'N Tesis 2009. Powered by Blogger.Designed by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul .